Salah
satu penyakit yang dapat dikatakan kronis dalam demokrasi elektoral di
Indonesia yaitu politik uang. Meski aspek ini telah dilarang secara tegas dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, kenyataannya politik uang
tetap menjamur dalam setiap pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia, baik di
tingkat nasional maupun tingkat daerah. Masyarakat tahu aspek ini terjadi,
aparat hukum tahu ini terjadi, penyelenggara pemilu pun tahu ini terjadi. Namun,
penindakan terhadap pelaku politik uang ibarat angin yang lewat.
Lalu,
apa yang salah? Bukankah hukum kita sudah cukup jelas?
Menurut
Lawrence M. Friedman, sistem hukum terdiri dari tiga elemen utama. Pertama,
struktur hukum (lembaga pelaksana dan penegak hukum). Kedua, substansi hukum
(aturan yang berlaku). Ketiga, budaya hukum (nilai dan kesadaran hukum
masyarakat). Dalam konteks politik uang dalam pemilu, ketiganya saling
berkaitan dan turut menentukan efektivitas pemberantasan praktik tersebut.
Struktur hukum seperti Bawaslu dan Gakkumdu sering kali menghadapi kendala
teknis dan politis dalam menindak pelanggaran, sementara substansi hukum dalam
UU Pemilu memiliki celah normatif, seperti definisi yang sempit dan beban
pembuktian yang tinggi, sehingga pelaku kerap lolos dari jerat pidana. Lebih jauh
dari itu, budaya hukum masyarakat yang permisif dan menganggap politik uang
sebagai hal lumrah menunjukkan bahwa penegakan hukum belum berakar kuat dalam
kesadaran publik. Dengan demikian, jika ketiga aspek ini tidak diperbaiki
secara komprehensif, maka politik uang akan tetap menjadi penyakit laten dalam
demokrasi elektoral Indonesia.
Dalam
implementasinya, kerangka hukum terkait politik uang sebenarnya sudah cukup
tegas. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, misalnya. Secara
eksplisit melarang segala bentuk pemberian uang, barang, atau janji dalam
rangka memengaruhi pemilih (Pasal 280 dan 523). Sanksinya pun tidak main-main,
pidana penjara hingga empat tahun dan denda ratusan juta rupiah.
Namun,
dalam realitas politik dilapangan, penegakan hukum terhadap politik uang sangat
minim. Hal ini bukan hanya karena lemahnya pengawasan, tetapi juga karena
terbatasnya alat bukti, resistensi sosial, serta persekongkolan senyap antara
elite politik, pemilih, dan bahkan aktor-aktor penyelenggara pemilu.
Kultur
Politik Transaksional
Salah
satu faktor utama mengapa politik uang terus hidup adalah kultur politik
masyarakat yang masih terbuka terhadap praktik transaksional. Dalam hal
tertentu, pemberian uang bahkan dianggap “wajar”, semacam kompensasi atas suara
yang diberikan. Di sisi lain, sebagian masyarakat memandang pemilu sebagai
momen ekonomi tahunan bukan proses menentukan arah bangsa.
Burhanuddin
Muhtadi (2019) mengemukakan dalam Jurnalnya bahwa politik uang menjadi alat
kampanye yang paling efektif, khususnya di daerah dengan tingkat kesejahteraan
rendah. Dalam surveinya, ia menemukan bahwa sekitar 33 % pemilih mengaku
menerima uang atau barang dalam pemilu, dan sekitar 40 % dari mereka mengubah
pilihan politiknya karena pemberian tersebut (Muhtadi, 2019, Asian Journal
of Political Science). Fakta ini menunjukkan bahwa politik uang bukan hanya
masalah hukum, melainkan juga masalah budaya politik. Hukum dapat melarang,
tetapi jika mentalitas politik rakyat belum berubah, maka aturan itu hanya
menjadi teks pajangan saja.
Instrumen
Hukum yang Tidak Cukup Tajam
Salah
satu alasan mengapa instrumen hukum belum efektif dalam memberantas politik
uang adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Berdasarkan perspektif
Teori Efektivitas Hukum dan Teori Keadilan, tampak adanya kelemahan mendasar
dalam mekanisme penanganan kasus, yang tercermin dari lamanya proses hukum yang
harus dilalui, meskipun jangka waktu penanganannya secara formal terbilang
singkat. Kompleksitas dan kerumitan prosedur hukum ini justru menghambat
tercapainya keadilan bagi pihak-pihak yang melaporkan dugaan pelanggaran,
maupun bagi mereka yang mempercayai telah terjadi ketidakberesan. Kondisi
semacam ini pada akhirnya mengarah pada ketidakadilan, karena keadilan yang
datang terlambat pada hakikatnya sama dengan ketidakadilan itu sendiri. Dalam prinsip
dasar hukum yang ideal, seharusnya berlaku asas Lex nemini operatur iniquum,
nemini facit injuriam, yang berarti hukum tidak boleh menimbulkan ketidakadilan
bagi siapa pun dan tidak boleh merugikan siapa pun.
Selain
itu, banyaknya pihak yang terlibat dalam praktik uang, mulai dari calon
legislatif hingga aparat penyelenggara pemilu, membuat pengungkapan dan
pembuktian kasus tersebut semakin sulit. Kelemahan lain terletak pada instrumen
hukum dan kelembagaan itu sendiri. Dalam praktiknya, pembuktian politik uang
sangat sulit dilakukan. Saksi sering tidak mau bicara, bukti berupa rekaman
atau transaksi jarang bisa diakses, dan waktu penanganan perkara yang terbatas
(karena adanya batas waktu selama masa kampanye) membuat kasus sering berujung
pada pengarsipan.
Di
sisi lain, minimnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat juga turut
berkontribusi pada kegagalan pemberantasan praktik ini. Masyarakat sering kali
lebih memilih untuk menerima uang atau bantuan materi dari calon legislatif
daripada melaporkan tindakan tersebut karena alasan pragmatis, seperti
kebutuhan ekonomi.
Penyebab
utama ketidakefektifan penegakan hukum atas politik uang yaitu lemahnya aspek
kelembagaan dan minimnya keberanian dari Bawaslu serta Gakkumdu (Sentra
Penegakan Hukum Terpadu) dalam menangani kasus yang melibatkan tokoh politik
besar. Apalagi dalam praktiknya, Gakkumdu justru seolah-olah berperan layaknya “penjaga
status quo”, alih-alih menjadi institusi penegak hukum yang progresif.
Bukan rahasia umum bahwa banyak laporan politik uang yang mentok di meja
birokrasi, tanpa pernah masuk ke ranah peradilan.
Menjaga
Demokrasi dari Pembusukan
Politik
uang adalah bentuk banalitas kejahatan demokrasi. Ia tidak hanya merusak proses
elektoral, tetapi juga melemahkan legitimasi Lembaga-lembaga negara. Pemimpin
yang terpilih lewat praktik curang cenderung mereproduksi korupsi politik,
karena sejak awal prosesnya sudah tercemar.
Indonesia
tidak kekurangan aturan, tetapi kekurangan keberanian dan konsistensi dalam
menegakkan hukum. Selama praktik politik uang masih dianggap hal biasa, maka
demokrasi Indonesia hanya akan menjadi prosedur tanpa substansi. Perlu dorongan
kolektif, bukan hanya dari aparat penegak hukum, tetapi juga dari masyarakat
sipil, media, dan akademisi, untuk menjadikan hukum benar-benar hidup dan
bekerja melindungi nilai-nilai demokrasi.
Referensi
Muhtadi, B. (2019). “Vote Buying in
Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery,” Asian Journal of Political
Science, 27(3), 284–302.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Wilde, A. A. E., & Firmansyah, H.
(2024). Kelemahan Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilihan Umum Di Negara
Republik Indonesia. UNES Law Review, 6(4), 10666-10673.
Komentar
Posting Komentar