Oleh : Gufron Ihsan
Berbicara
mengenai lingkungan, kita ketahui bersama bahwa lingkungan merupakan anugrah
yang sangat besar dari tuhan, terlebih bangsa Indonesia yang kaya akan sumber
daya alam dan jumlah penduduk yang besar. Dari mulai hutan dan pegunungan yang
hijau, fenomena pantai yang indah, ditambah sawah-sawah yang menghampar. Lingkungan
bisa kita katakan sebagai aspek dasar untuk keberlangsungan makhluk hidup yang
ada dimuka bumi ini, karena keberlangsungan makhluk hidup khususnya manusia
sangat bergantung pada lingkungan itu sendiri. Tentu hal tersebut menjadi suatu
anugrah yang patut kita syukuri sekaligus wajib kita jaga kelestariannya.
Jika
kita melirik pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) yang kita anggap sebagai landasan konstitusional, negara sangat terlibat
terhadap lingkungan, dimana negara mewajibkan agar sumber daya alam yang terdapat
di negara kita sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran masyarakat
Indonesia. Hak tersebut terdapat pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Selain itu, dalam pasal 28H ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) negara
telah melimpahkan hak kepada kita, bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
mendapatkan lingkungan yang baik, tetapi ketika melihat realita masyarakat
sekarang, seolah mereka tidak menyadari bahkan sampai tidak tahu akan hal
tersebut, sehingga sangat mudah bahkan banyak oknum-oknum yang memanfaatkan dan
menghalalkan segala cara terhadap ketidak tahuan masyarakat untuk
kepentingannya.
Problematika
lingkungan hidup semakin kesini memang semakin kompleks. Dari masa ke masa,
yang penulis temukan problematika lingkungan semakin bertambah dan sulit untuk
diatasi. Kita ambil contoh salah satu kasus yang menjadi sorotan di media
sosial belakangan ini ketika Pandawara Group mempunyai cara yang ekstrem
sekaligus unik untuk mengatasi problematika lingkungan. Hal tersebut terjadi karena
mereka menganggap tidak adanya tindak lanjut dari penguasa maupun masyarakat
sekitar dalam kurun waktu yang cukup lama terhadap lingkungan yang terdzolimi. Pada
pengaplikasiannya, tidak semua pihak mendukung kreativitas dari kawan-kawan
Pandawara, buktinya baru-baru ini malah mendapatkan ancaman hukum dari pihak
tertentu, padahal bertahun-tahun tidak ada solusi atau penyelesaian terhadap
permasalahan lingkungan didaerahnya. Jika ditelaah lebih rinci, mungkin sangat
banyak problematika yang terdapat didalamnya, tentu akar permasalahannya
terdapat pada lingkungan yang terdzolimi, bukan dijaga dan dilestarikan. Bisa
ditarik benang merah, hal tersebut menjadi tanda bahwa lingkungan hidup semakin
kesini semakin rusak, semakin memprihatinkan, dan semakin rancu karena
pencemaran dimana-mana dan sulit untuk dikontrol.
Asumsi
penulis mengenai upaya dalam rangka meminimalisir atau mengatasi berbagai
problematika lingkungan hidup di Indonesia masih sangat sulit, baik dari
penguasa maupun dari kesadaran masyarakat itu sendiri. Dari segi penguasa bisa
kita lihat realita yang banyak terjadi saat ini, tidak hanya masyarakat
sebagaimana disebutkan diawal, masih banyak penguasa yang tidak menyadari
intisari dari UUD 1945 sehingga mereka seolah acuh akan lingkungan hidup.
Begitupun dari segi kesadaran masyarakat, umumnya pemikiran masyarakat
Indonesia sebatas memikirkan kepentingannya, masih sangat minim pemikiran
masyarakat terhadap pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup
seperti salah satu kasus di atas.
Poin
penting yang dapat mengatasi atau setidaknya meminimalisir problematika
lingkungan hidup tidak lain melalui penegakan hukum yang optimal dan komprehensif
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penegakan hukum menjadi suatu proses
untuk menegakan norma-norma hukum sebagai pegangan atau pedoman bagi masyarakat.
Tujuan utama dari penegakan hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan hukum, sehingga dengan adanya penegakan hukum yang optimal
dapat mewujudkan tujuan hukum itu sendiri. Selain itu, keberhasilan
perundang-undangan bisa kita lihat dari segi penegakan hukum yang optimal dan
komprehensif.
Jika meninjau dari segi subyeknya, penegakan hukum bisa dilakukan oleh subyek dalam arti ruang lingkup luas, bisa juga penegakan hukum yang dilakukan oleh subyek dalam arti sempit. Ketika kita mendefinisikan dalam arti luas, proses penegakan hukum tentu melibatkan banyak atau semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Artinya siapapun yang menjalankan aturan normatif dengan dasar norma hukum yang berlaku berarti dia menjalankan atau menegakan aturan hukum. Berbeda jika kita mendefinisikan dalam arti sempit, penegakan hukum hanya upaya yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum yang ada berjalan dengan sebagaimana mestinya. Dalam pengaplikasian untuk menjamin dan memastikan hal tersebut, aparatur penegak hukum diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
PEMBAHASAN
Penegakan
hukum lingkungan hidup dapat diterapkan dengan metode preventif (Mencegah) maupun
represif (Memulihkan Gangguan). Penegakan preventif yaitu pemantauan aktif
terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa adanya insiden langsung yang berhubungan
dengan peristiwa kongkrit. Metode ini dapat dilakukan melalui pemantauan dan penggunaan
kewenangan yang bersifat pengawasan. Penegakan hukum dalam aspek ini dilakukan apabila
terjadi pelanggaran peraturan untuk mencegah secara langsung perbuatan
terlarang.
Pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja, terdapat 3 (tiga) metode hukum mengenai penegakan hukum lingkungan,
yaitu hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana.
Dalam
sudut pandang yang berbeda, terdapat beberapa faktor yang memang sangat mempengaruhi
dalam penegakan hukum di Indonesia, diantaranya:
A. Intervensi
Politik Dan Kekuasaan
Adanya
intervensi kepentingan dari pihak-pihak tertentu dalam peraturan
perundang-undangan seolah sudah menjadi rahasia umum yang sudah membudaya, foktor
utama dalam terbentuknya peraturan atau kebijakan yaitu terdapatnya
pertentangan dalam berbagai aspek, dari mulai kepentingan ekonomi, politik,
atau pertentangan dari pihak-pihak tertentu. Padahal menurut Prof. Mahfud MD, “hukum
itu murni tanpa ada pengaruh atau hasil dari politik, maka negara akan hancur
jika hukum dikondisikan dan jadi alat oleh pihak tertentu”.
Kita lihat beberapa kasus yang sudah berlalu, terdapat
beberapa kebijakan dari penguasa yang sifatnya politis, tentu menyebabkan
perdebatan dikalangan orang banyak karena tidak memperhatikan faktor-faktor
lingkungan, ekonomi, bahkan sosial budaya pada masyarakat itu sendiri.
Penguasa dengan sangat mudah mempermainkan
aturan yang ada, bahkan di beberapa fenomena seolah sengaja mengakali atau
mencari kebenaran dalam putusan pengadilan sehingga banyak kontroversial
dikalangan masyarakat.
Salah
satu contoh yang bisa kita ambil yaitu penerbitan PT semen Indonesia oleh
Gubernur Jawa Tengah setelah putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, tetapi
ada penerbitan kembali mengenai izin lingkungan yang dilakukan dengan membuat
“addendum” AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) dan menyetujui
izin lingkungan yang baru dengan waktu singkat. Hal tersebut membuat
kontroversi yang sangat krusial, baik di kalangan masyarakat biasa maupun
mahasiswa yang terkenal dengan pergerakannya, bahkan fenomena ini menjadi
faktor akan terbitnya salah satu film yang berjudul Semen Vs Samin. Keputusan
yang membuat kontroversial itu tentu membuat citra buruk bagi pengelolaan dan
penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
B.
Mafia Peradilan Dalam Proses
Penegakan Hukum Lingkungan
Kata
“Mafia” hukum atau “Mafia” peradilan sudah cukup lama menjadi topik
perbincangan yang sangat memprihatinkan. Sebenarnya keberadaan mafia peradilan
bukan hanya pada proses penegakan hukum lingkungan saja, dalam aspek penegakan
hukum kelas kecil sampai penegakan hukum kelas atas, sering kali terdapat
keberadaannya yang membuat resah seluruh masyarakat. Kata mafia hukum bukan
sekedar omong kosong belaka, tetapi sudah dibuktikan dan terkonfirmasi
keberadaannya dengan diadakan pembentukan salah satu Satgas Pemberantasan Mafia
Hukum pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kegiatan peradilan yang dikendalikan oleh mafia dapat menyebabkan
berbagai dampak negatif dan melemahkan berbagai hal dalam kehidupan bernegara. Dalam
proses peradilan masalah lingkungan, beberapa pihak yang banyak ditemukan ikut
serta dalam prosedur perkara biasanya, terlapor, pelapor, polisi, lawyer,
jaksa, penitera, bahkan sampai hakim. Padahal sudah sangat jelas, setiap amanah
hukum yang diberikan kepada aparat penegak hukum harus dilakukan secara profesional
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang, namun pada kenyataannya banyak
aparat penegak hukum yang kompeten malah menyalahgunakan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Hal
tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dari lubuk hati dan nurani masyarakat
awam, sebenarnya siapa yang memiliki pengadilan? orang-orang yang memiliki
kebaikan dan kejujuran atau orang-orang yang memiliki harta kekayaan yang dapat
membeli harga diri penegak hukum? Dalam jurnal
Urgensi
dan esensi lembaga peradilan yaitu memberikan keadilan kepada masyarakat tanpa
adanya diskriminasi, dilakukan secara profesional, cepat dan biaya murah, karena
pengadilan merupakan salah satu pilar suatu bangsa dan negara. Lembaga ini
merupakan instrumen penting yang mencerminkan banyak aspek, seperti penegakan
hukum, martabat dan moralitas, pembangunan ekonomi, dan ketertiban. Keunggulan
penegakan hukum bisa dilihat melalui berbagai keputusan yang diambil oleh
lembaga peradilan. Artinya, pengadilan mengadili secara akurat dan berwawasan
luas terhadap keputusan-keputusan yang kemudian mencerminkan bagi tegaknya
hukum.
C. Rendahnya
Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber
daya manusia yaitu salah satu penyebab atau pendukung utama dalam keberhasilan
penegakan humum. Mudahnya, sebaik apapun peraturan bila tidak didukung oleh
sumber daya manusia (SDM) yang bagus maka kemungkinan penegakan hukum yang
optimal sulit untuk berhasil. Keduanya memang saling berkaitan dan saling
mendukung satu sama lain, tetapi poin utamanya tergantung pada sumber daya
manusia itu sendiri.
Lemahnya
sumber daya manusia dapat berupa lemahnya kapasitas intelektual penegakan hukum
atau rendahnya moralitas penegakan hukum dalam memberikan keadilan kepada masyarakat
itu sendiri. Rendahnya kapasitas intelektual tercermin dari lembaga yang
bertugas menjamin penegakan hukum, pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup
sangat lambat bahkan tidak mau menangani permasalahan lingkungan hidup yang
semakin kompleks. Oleh karena itu, tidak adil untuk menyebutkan hanya satu dari
pihak yang berkontribusi paling besar atau paling bertanggung jawab terhadap
cacatnya kinerja hukum saat ini. Beberapa fenomena kerancuan yang terjadi saat
ini disebabkan oleh berbagai pihak, baik polisi, pegawai negeri, jaksa atau
hakim. Masyarakat (Pengusaha, pemerintah, bahkan masyarakat nya sendiri) terlibat
ikut serta dalam menyumbang runtuhnya lembaga hukum di Indonesia.
Banyak terjadinya konspirasi dalam berbagai aspek dengan memberi sejumlah dana supaya kasusnya dibungkam atau hukumannya diringankan merupakan fenomena rahasia umum yang sudah biasa di lingkungan pengadilan, begitu juga dengan budaya titipan dari pengusaha ataupun dari ketua pengadilan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan. Hal tersebut menjadi poin penting yang menunjukan rendahnya moralitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia, juga menjadi penyebab sulitnya mengatasi berbagai problematika dalam penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
KESIMPULAN
Problematika
hukum lingkungan memang semakin kompleks, tetapi bagaimanapun keadaannya kita
harus berupaya untuk meminimalisir dan mengurangi problem-problem tersebut,
baik problem yang timbul karena intervensi politik dan kekuasaan, mafia
peradilan, dan sumber daya manusia yang rendah dengan upaya penegakan hukum
yang optimal dalam berbagai aspek.
Penegakan hukum merupakan suatu proses usaha untuk menegakkan atau menjalankan norma-norma hukum yang sebenarnya sebagai pedoman berperilaku dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan aspek penting dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup. Penerapan hukum lingkungan hidup telah diatur dalam UU PPLH melalui 3 (tiga) alat penegakan hukum, yaitu hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Meskipun terdapat peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup, namun pada realitanya penegakan hukum selalu menemui permasalahan dan hambatan. Kendala-kendala tersebut antara lain disebabkan oleh struktur hukum yang tidak memadai dan seringkali tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Faktor-faktor yang menjadi penghambat maka harus diminimalisir bahkan dihilangkan agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik, sehingga lingkungan hidup dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
TAMAN BACA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Alkostar, A. (2016). Masalah Mafia Peradilan dan
Penanggulangannya. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 1-8.
Asshiddiqie, J. (2016). Penegakan Hukum. Penegakan Hukum,
3.
Forer, L. (1984). Money and Justice : Who Owns The
Courts? New York: Norton.
Hayatuddin, K., & Aprita, S. (2021). Hukum
Lingkungan. Jakarta: Kencana.
Johar, O. A. (2021). Realitas Permasalahan Penegakan Hukum
Lingkungan Di Indonesia. Jurnal Ilmu Lingkungan, 57-61.
Laily, F. N., & Najicha, F. U. (Vol 21 No 2 2022).
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN SEBAGAI UPAYA MENGATASI PERMASALAHAN LINGKUNGAN
HIDUP DI INDONESIA. Wacana Paramarta Jurnal Ilmu Hukum , 17-19.
Suharko. (Volume 20, Nomor 2, November 2016 ). Masyarakat
Adat versus Korporasi: Konflik Sosial Rencana Pembangunan Pabrik Semen di
Kabupaten Pati Jawa Tengah Periode 2013-2016. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, 97-116.
Suparman, E. (2017). Menolak Mafia Peradilan : Menjaga
Integritas Hakim-Menyelaraskan Perbuatan Dan Nuraninya. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 62-80.
Komentar
Posting Komentar