Menghadapi Gempuran Sikap dan Paras Seorang Gadis yang Membuat Esensi Secara Nyata ! : Sebuah Kajian Gabutisme

 

“Aku bersikap humor saat dia menggelitik”



Semua orang pasti telah mengetahui apa itu paras, dalam KBBI paras memiliki makna nomina (kata benda) begitu juga makna adjektiva (kata sifat). Jika dilihat dari makna nomia, paras memiliki makna “rupa” atau “muka” sehingga memiliki peran untuk menyatakan rupa dari seseorang, tempat, atau apa saja yang bisa dibendakan. Seperti yang sering keluar dari ucapan pria ketika terpesona oleh seorang gadis yang membuatnya tergila-gila, “Parasnya yang cantik membuatku masuk angin”.

Begitu juga sikap, tentu sudah tidak asing bagi pendengaran orang banyak, tetapi banyak kesalah fahaman dalam memahami dan mendifinisikan arti sikap yang sebenarnya. Banyak para ahli yang mengutarakan mengenai hal tersebut dalam “Dictionary of psychology”, salah satunya yaitu Chaplin (1975) dalam jurnal Herson Anwar mengenai “Penilaian Sikap Ilmiah Dalam Pembelajaran Sains” yang mengatakan bahwa “sikap yaitu satu predisposisi atau kecenderungan yang relative stabil berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau mereaksi dengan cara tertentu”.

Dengan bekal pemikiran yang dilandasi beberapa bacaan dan empiris penulis akan gempuran sikap dan paras seorang gadis yang membuat esensi secara nyata, tergila-gila, bahkan sampai terpesona, maka penulis sedikit berbagi pemikiran dan pengalaman mengenai kajian tersebut diakhiri dengan simpulan, juga korelasi antara pemahaman dan pengalaman akan hal tersebut.

A.  Kajian Sikap

Berbicara tentang sikap, Reber seorang ahli psychology mengatakan bahwa islilah sikap atau attitude berasal dari bahasa latin yaitu “aptitude” yang memiliki makna “kemampuan”, artinya sikap bisa dijadikan bahan acuan untuk menilai seseorang, apakah dia mampu atau tidak pada pekerjaan tertentu. Lebih menarik dan terperinci dikemukakan oleh (Anwar, 2009) dalam jurnalnya, ia banyak mengutip dan mengumpulkan pendapat mengenai sikap dari beberapa ahli.

  •    Sikap yaitu kecenderungan bertindak, berpresepsi, dan berfikir. Sikap bukan perilaku tetapi kecondongan berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Obyek sikap tidak hanya orang, bisa berupa benda, tempat, gagasan, situasi, atau kelompok.
  •      Sikap memiliki daya pendorong, sikap bukan hanya rekaman masa lalu, tapi bisa juga sebagai pilihan seseorang untuk menentukan apa yang dia sukai dan menghindari apa yang tidak dia inginkan.
  •      Sikap relative lebih menetap. Ketika satu sikap telah terbentuk pada diri seseorang maka hal itu akan menetap dalam waktu relative lama, karena hal tersebut disadari pilihan yang dia sukai dan menguntungkan dirinya.
  •    Sikap mengandung aspek evaluasi. Sikap akan bertambah ketika obyek sikap menyenangkan dirinya dan membuat dia nyaman, tetapi ketika obyek sikap dinilai negatif maka dia akan berubah.

Bisa kita tarik benang merah bahwa sikap bukanlah prilaku tetapi kecenderungan untuk berprilaku, berpresepsi, atau berfikir dengan metode tertentu kepada obyek sikap. Sikap memiliki daya pendorong untuk menentukan apa yang disukai atau sebaliknya, memiliki waktu yang relative lama dan menetap, juga mengandung aspek evaluasi.

  1.   Sikap Penuh Perhatian
REAL







Merujuk pada kajian sikap yang telah di bahas, sikap seseorang yang penuh dengan perhatian terjadi ketika dia telah merasa senang sehingga mendapatkan kenyamanan pada obyek sikap, atau dia menyukai dengan tulus pada obyek sikap itu sendiri. Selain itu, seseorang yang sikapnya dipenuhi oleh perhatian, dia menyadari sepenuhnya apa yang sedang dilakukannya, sungguh-sungguh memperhatikan dan memberi perhatian pada obyek sikap, juga menyatakan konsentrasi melalui panca indranya, seperti penglihatan, senyuman, sentuhan, bahkan sampai perkataannya. Sehingga obyek sikap bisa merasakan esensi dari sikap seseorang yang membuat obyek sikap tergelitik seperti yang dialami penulis. Kala itu.

               2.   Sikap Penuh Kepalsuan

Sikap penuh kepalsuan dalam konteks ini, didasari oleh seseorang yang bersikap seperti penuh dengan perhatian, tetapi kenyataannya tidak seperti itu, melainkan palsu. Dia menunjukan sikap tertentu hanya ingin mendapatkan apa yang dia inginkan, ketika misinya bisa dibilang sukses maka dia akan meninggalkannya, bukan karena dia bersikap tulus, nyaman, atau mendapatkan kesenangan dari awal.

Sikap penuh kepalsuan juga terjadi ketika seseorang tahu bahwa dia menjadi obyek sikap dari orang lain, atau dia banyak berharap kepada seseorang tapi tidak sesuai dengan ekspektasinya, padahal Syaikh Sa’ad Al-Ghamidi telah mengatakan “Jika hati senantiasa ingin bahagia, jangan bergantung pada manusia”, tetapi realitanya sulit untuk mewujudkannya, termasuk penulis. Dampaknya dia merasa terganggu bahkan sampai tidak menyukainya.

 Artinya yang mengeluarkan sikap penuh kepalsuan yaitu seseorang yang menjadi obyek sikap dari orang lain.  Orang yang seperti itu biasanya relative bodo amat. Seperti seorang gadis yang mendapatkan perhatian dari lawan jenisnya, tetapi dia bersikap bodoamat karena tidak ada yang dia inginkan bahkan dia tidak menyukai lawan jenis itu, yang terwujud hanya senyuman palsu dan ucapan yang membuat luka sekarat baja. Dia presepsi bahwa jika memikirkan perlakuan lawan jenisnya itu hanya akan menyakiti hati atau perasaannya.

FAKE

            B.   Menghadapi  Gempuran Sikap dan Paras si Gadis

Istilah “gempuran yang membuan esensi secara nyata” dalam sosiologis mengacu pada aspek dari perwujudan sikap dan paras si gadis yang dianggap sakral dan dapat merobohkan kuda kuda qolbu. Kebetulan penulis melihatnya cenderung via media sosial, senyum si gadis yang mempunyai nilai estetik dan syahdu dengan kerudung dan busananya mengingatkan pada salah satu kisah yang diceritakan oleh kyai balap yaitu “Ki Ahmad dan Ratna Mintarsih”, walaupun itu hanya sebatas kisah dan tidak bisa melihat senyuman manis dari seorang Ratna Mintarsih. Suaranya yang selalu tertanam pada benak, membuat pikiran traveling dan bertamasya ke atas ranjang malam pertama. Jangan salah faham, maksudnya saling tasmi’ kalaamullah sambil duduk di atas ranjang bersamanya. Seakan nilai estetik paras dan senyuman si gadis mempunyai kesamaan, juga mempunyai peran penting dalam menggempur qolbu.

Sikapnya yang relative penuh kepalsuan, menjadi serangan balik atas prespektif nilai estetik paras dan senyumannya itu. Acuhnya, responnya, bodoamatnya, seakan benar benar menggempur pertahanan kokoh yang dimiliki penulis layaknya timnas Argentina yang mengobrak-abrik dan mencobak-cabik tinmas Indonesia. Mungkin si gadis dari dulu tidak menyadari akan sikap yang diberikan kepadanya sampai saat ini, mungkin juga dia merasa tidak nyaman dan tidak menyukai pada sikap yang dia terima, sehingga mempunyai sikap yang relative bodoamat.

Ketika menerima gempuran seperti itu, siapapun umumnya tentu akan merasakan sepi dan sunyi,  pengap dan penat. Kesunyian menjadi pilihan bagi sebagian orang, padahal kesunyian hanya untuk menambah penat dan membuat pikiran pudar sehingga dapat menggagu terhadap aktivitas yang lain, berbeda ketika sunyi hanya sebatas menenangkan keadaan sesaat. Tetapi penulis men-counter gempuran tersebut dengan hal yang bisa dibilang menarik.

·       Humor Menjadi Jalan Ninja

Merujuk pada salah satu buku yang berjudul “Homo Homini Humor” karangan Fariz Alniezar yang mengatakan bahwa humor yaitu pembersih pengapnya udara, humor menjadi oksigen bagi siapapun yang jengah dan gelisah terhadap corak hidup yang begitu begitu saja, monoton, saklek, penuh aturan, bahkan banyak tuntutan dalam berbagai hal. Humor bukanlah dagelan, humor sesungguhnya yaitu gambaran spiritual manusia. Semakin tinggi tahapan spiritual seseorang, maka semakin lucu, tapi bukan lucu yang sifatnya dagelan melainkan lucu yang mengluhurkan kemanusiaan. Semakin besar selera humor seseorang, semakin tinggi juga tingkat kecerdasannya. Dengan adanya ungkapan seperti itu, penulis menyelaraskan dengan hal ini sehingga timbul sebuah adagium “aku bersikap humor saat dia menggelitik”.

Humor tentu memiliki corak, varian, atau model, juga memiliki kadar yang berbeda-beda, tergantung pemakaian dosis dan konteksnya. Artinya humor memiliki tingkatnya masing masing, dari mulai yang paling rendah sampai tingkat yang paling saklek. Banyak tokoh yang mempunyai selera humor yang tinggi, seperti Gus Dur, Nu’aiman seorang sahabat nabi, Abu Nawas, dan masih banyak yang lainnya.  

Ketika penulis tertangkap basah sedang melihat instagram story seseorang dengan penuh keseriusan oleh salah satu temannya, penulis tidak langsung menutup halaman storynya, tetapi berfikir untuk mengakalinya.

Teman  : “Broo, dari tadi serius amat lihat nya. Siapa tuuh? Cewe lu ya? Weeeeeh yang lagi kasmaran”. Diikuti sorakan orang-orang yang ada disekitar.

Penulis :  “Biasa broo, calon istri. Cakep kan? Ngomong aja kalo suka sama orang, gausah ngcengin orang”. Dengan mimik muka songong semi humor membuat semuanya terdiam sesaat dan diikuti tawaan kepada dia.

Teman  : “Apesss, apesssss”.

Dalam kalimat tersebut tentu mengandung nilai humor yang bisa dibilang tingkat rendah, dimana terdapat sebuah pelesetan dari ucapannya. Jika kejadian itu penulis seketika menutup halaman storynya jelas menyebabkan berbagai hal, selain malu oleh banyak orang juga menyebabkan pikiran yang negatif sehingga berdampak pada berbagai hal. Dengan jawaban yang sedikit humor dengan penuh kepastian itu, secara tidak langsung berpengaruh pada pikiran, sehingga tertanam dalam benak pikiran yang positif. Oleh sebab itu, humor menjadi jalan ninja penulis ketika sedang tergelitik. 

Kesimpulan

Gempuran sikap dan paras dari salah satu gadis itu memang sangat dasyat. Setiap sikap dan parasnya memiliki nilai estetik yang membuat esensi, termasuk bersikap humor saat men-counter hal tersebut, yang mana keduanya telah dikaji oleh penulis. Tetapi, tulisan ini tidak akan mampu menjelaskan sikap dan paras si gadis secara utuh. Secara tidak langsung, artikel ini menyampaikan pesan kepada si gadis. Wkwk

 

Bacaan

Alniezar, F. (2019). Homo Homini Humor. Yogyakarta: BASABASI.

Ansharullah, H. (n.d.). Assalamu'alaikum GUS DUR : Sang Guru Bangsa yang Humoris. PENERBIT UNIVERSITAS CIPUTRA.

Anwar, H. (2009). Penilaian sikap ilmiah dalam pembelajaran sains. Jurnal Pelangi Ilmu, 103-114.

Suharyat, Y. (2009). HUBUNGAN ANTARA SIKAP, MINAT . Jurnal Region, 1-19.








Komentar

Posting Komentar