MONTESQUIEU DI TATAR SUNDA: Membedah Tri Tangtu Di Buana Sebagai Filsafat Politik Asli Nusantara

Oleh: Gufron Ihsan

         Sebagai manusia sunda yang kerap mengikuti kajian tentang kenegaraan, tentu tidak asing dengan konsep “Trias Politika” yang dikemukakan oleh dua orang pemikir negara dan hukum yang berasal dari rahim pemikiran eropa pada abad ke-18, yaitu John Locke dan Montesquieu. John Locke merupakan tokoh awal yang mewacanakan pemikiran terkait pembagian kekuasaan tersebut. Namun, dalam pemikirannya, Locke belum merumuskan aspek “checks and balances” secara sistematis, ia juga tidak meletakan lembaga yudikatif sebagai kekuasaan yang bersifat independen sebagaimana diketahui dalam teori modern. Pemikiran tersebut kemudian disempurnakan oleh Montesquieu secara sistematis dengan tiga (3) cabang pembagian kekuasaan. Legistalif, eksekutif, dan yudikatif, dengan tujuan utama untuk mencegah penumpukan kekuasaan di satu wadah dan memastikan keadilan serta kebebasan bagi warga negara, serta sebagai upaya dalam membatasi dominasi absolutism seorang raja.

Pentingnya pembagian kekuasaan dalam suatu tatanan pemerintahan menjadi suatu topik yang tidak pernah kehilangan relevansinya, baik dalam segi sejarah maupun dalam praktik pemerintahan modern. Dalam hal ini, penulis terbenak dengan ajaran autentik yang dimiliki oleh leluhurnya, yaitu konsep “Tri Tangtu di Buana”. Dimana, kedua konsep ini memiliki kesamaan dalam beberasa aspek, meski dalam hal pembagian kekuasaan konsep “Trias Politika” lebih masyhur, bahkan di tatanan Nusantara itu sendiri.

Pemikiran “Tri Tangtu di Buana” ini telah terbentuk jauh sebelum John Locke dan Montesquieu mengemukakannya, tepatnya ditatanan Sunda, tempat penulis lahir, tumbuh dan besar. Anehnya, pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep besar yang tertuang dalam ajaran kesundaan sekaligus memiliki relevansi untuk membangun sistem peradaban justru seolah dilupakan, bahkan diabaikan begitu saja oleh masyarakatnya, salahsatunya konsep filsafat“Tri tangtu di Buana” ini. Sehingga, dalam benak penulis menimbulkan pertanyaan dasar, apakah ini yang dinamakan “Jati kasilih ku junti”? dalam Pribasa Sunda. Maksudnya begini, mengacu pada pemaparan di atas, maka penulis ingin mengatakan bahwa kita dapat belajar melalui peradaban orang lain, tetapi jangan sampai kita menganggap angin lewat bahkan sampai melupakan ajaran nenek moyang kita yang menjadi kearifan lokal Nusantara.

Mengenal Konsep Tri Tangtu di Buana

Dalam beberapa kajian, konsep ini tertuang dalam naskah kuno yang ditulis antara abad ke-14 hingga abad ke-16 M. “Tri Tangtu di Buana” yang secara harfiah memiliki arti “tiga prinsip/kekuasaan di dunia”, merupakan filosofi yang tidak hanya mengajarkan terkait pembagian kekuasaan, tetapi juga menjadi pedoman etika dan spiritual dalam kehidupan masyarakat sunda yang menekankan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan manusia, baik secara vertikal (hubungan dengan tuhan) maupun horizontal (hubungan dengan sesama dan alam). Sistem kekuasaan dalam pemikiran masyarakat Sunda pada zaman itu mengharuskan adanya pembagian dalam satu komponen dengan komponen yang lainnya. Hal ini memiliki landasan kuat sehingga kekuasaan pemerintahan (raja) tidak berpusat pada satu tangan saja. Dengan adanya konsep seperti ini, diharapkan dapat mewujudkan roda pemerintahan yang stabil dan tidak berlaku sewenang-wenang. Ada tiga elemen utama dalam pembagian kekuasaan berdasarkan pemikiran ini, “rama”, “resi”, dan “ratu/prabu”.

·       Pertama, falsafah rama bisa dikatakan seseorang yang menjadi pendiri, kepala suku, tokoh yang di tuakan oleh orang-orang yang ada di daerahnya. Dikatakan bahwa seorang rama harus “ngagurat lemah” yang maksudnya harus memiliki kepribadian yang dapat menentukan pedoman yang dapat dijalankan. Apabila kita analogikan dengan teori Trias Politika, rama dapat dianalogikan sebagai Lembaga legislatif. Tugas daripada seorang rama dalam tri tangtu di buana ialah membimbing atau melayani rakyat yang ada di daerahnya.

·       Kedua, falsafah resi yang dalam hal pembagian kekuasaan ini sebagai “pandito” (tokoh agama) dan akademisi. Seorang resi dalam istilahnya harus “ngagurat cai”. Maksudnya harus memiliki sifat niiskeun (menyejukan), adil dan bijaksana dalam suatu hal yang berhubungan dengan hukum. Tugas utama seorang resi adalah membimbing dan mendidik rakyatnya ke jalan yang lurus (spititual/ktuhanan).

·       Ketiga, falsafah ratu/prabu sebagai seorang darma raja yang memimpin seluruh rakyat sekaligus membuat kebijakan untuk kesejahteraan umum. Sang rama harus “ngagurat batu” (menggores batu) yang dalam hal ini harus memiliki watak yang teguh. Dalam aspek trias politika, falsafah ratu dapat dikatakan sebagai lembaga eksekutif yang memegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.

Selain itu, dalam pemikiran “tri tangtu di buana” adanya implementasi konsep desentralisasi yang terbagi kedalam 12 wilayah penguasa yang memungkinkan daerah-daerah itu tumbuh secara otonom. Dalam istilahnya, “ciri sabumi cara sadesa”. Hal ini tertuang dalam teks fragmen cerita parahyangan. Artinya, masyarakat sunda seharusnya sudah tidak asing lagi dengan konsep desentralisasi daerah yang sudah dipraktikan oleh leluhurnya.

Dengan lebih jelas, seorang ratu/prabu tidak secara absolut mewariskan kekuasaannya kepada pewaris dari raja itu sendiri, seperti berbagai pemerintahan di kerajaan-kerajaan pada umumnya. Justru melibatkan pihak-pihak utama dalam konsep tri tangtu dibuana. Pihak rama sebagai wakil rakyat dan pihak resi sebagai pakar keagamaan atau kaum intelektual. Begitupun di wilayah yang berbeda, seorang pemimpin ditentukan berdasarkan konsep tri tangtu dibuana yang menjadi suatu sistem tatanan peradaban. Hal tersebut tentu mempersempit berbagai gesekan atau kepentingan dalam tatanan masyarakat. Dalam konsep tri tangtu di buana, aktivitas politik banyak berlangsung melalui komunikasi antara para pemegang kekuasaan. Komunikasi politik ini muncul terutama dalam proses pembagian kekuasaan dan penentuan wilayah kekuasaan dilingkungan pemerintahan sunda. Hal ini menunjukan bahwa untur-unsur tri tangtu dibuana saling berkaitan dan bekerjasama dalam menjalankan roda pemerintahan.

Kajian Filosofis

Jika ditarik ke ranah yang lebih filosofis, ajaran “tri tangtu di buana” jelas berangkat dari cara pandang yang berbeda dengan sistem trias politika yang berkembang di tatanan eropa. Ajaran ini lahir dari kosmologi tradisional yang melihat kehidupan sebagai satu kesatuan antara manusia, alam, dan Ilahi. Sistem yang tertuang didalamnya bukan hasil dari kajian ilmiah atau rasionalitas murni, tetapi tumbuh dari pengalaman leluhur, adat yang di lestarikan, dan pengalaman batin. Maka, sistem ini terasa lebih normatif dan spiritual, dengan orientasi pada aspek kebersamaan, bukan individualisme. Berbeda dengan sistem “trias politika” yang berpijak pada filosofi modern, dimana kekuasaan perlu di awasi melalui sistem hukum yang rasional demi melindungi hak dan kebebasan individu.

Perbandingan keduanya menampilkan dua wajah dari cara manusia mengatur kehidupan. “Tri tangtu di buana” dengan demangat kebersamaan dan harmoni dalam kerangka budaya. “Trias politika” yang memiliki semangat untuk membatasi kekuasaan dalam kerangka hukum modern. Sistem sunda lahir dari tanah yang subur dengan mitos dan nilai komunal, sistem eropa tumbuh dari tatanan yang bergejolak revolusi dan perjuangan. Keduanya memberikan pelajaran penting terkait bagaimana kekuasaan bisa dibagi, dijaga, dan dan dijalankan.

Apa Jadinya Jika Montesquieu Hidup di Tatar Sunda?

Penulis berspekulasi, seorang pemikir Prancis pada abad ke-18 yang hidup ditengah gejolak absolutisme dan semangat pencerahan, tiba-tiba menemukan dirinya sedang berjalan di antara sawah-sawah subur, hutan lebat, pedesaan yang gemah ripah repeh rapih, dan alun-alun kerajaan di tanah parahyangan. Alih-alih mengenal sistem hukum Romawi atau struktur negara Prancis, justru ia berjumpa dengan para rama, resi, dan ratu sebagai tiga pilar kekuasaan yang bekerja bukan saling membatasi, tetapi saling melengkapi dalam harmoni.

Mungkin Montesquieu akan menggaruk kepala dan mengelus dagunya seraya berkata, “Hukum? Hmmhh…. Tapi disini? Ini harmoni”! Mungkin ia akan kagum bahwa jauh sebelum pemikirannya dikenal, masyarakat agraris di tataran Sunda telah mempraktikan semacam pembagian fungsi kekuasaan, bukan berdasarkan hukum tertulis sistem dan checks and balance, tetapi melalui nilai adat istiadat, spiritualitas, dan etika komunal. Bisa saja ia menulis ulang teorinya bukan dalam kerangka “separation of power”, tetapi “harmoni peran”. Ia juga mungkin akan kebingungan bahwa disini, kekuasaan tidak dilawan, tapi diluluhkan dengan kebijaksanaan dan nilai moral. Tegasnya, bahwa kekuasaan tidak dibagi secara tegas, tetapi dirawat agar tetap selaras seperti mengatur keseimbangan antara hujan dan musim panen.

Jika Montesquieu lahir di Tatar Sunda, bisa jadi konsep “Tri Tangtu di Buana” akan tercatat dalam Sejarah filsafat politik dunia sebagai salah satu inspirasi awal gagasan pembagian kekuasaan. Dunia Barat mungkin akan belajar bahwa demokrasi dan keadilan bisa lahir bukan hanya dari konflik dan revolusi, tetapi juga dari warisan budaya yang menjunjung keselarasan. Dan barangkali, dalam naskah “The Spirit of the Laws” karangan Montesquieu, kita akan menemukan kutipan seperti; “Kekuasaan yang tidak di awasi, tentu berbahaya. Tapi kekuasaan yang tidak seimbang, membuat semesta kehilangan nadinya” -Montesquieu versi Sunda

Kesimpulan

Dalam hemat penulis, kajian ini menjadi salah satu upaya dalam merawat dan melestarikan ajaran autentik yang dikemukakan oleh leluhur kita. Karna pada praktiknya, kita justru lebih mengenal dan memahami teori-teori dari Barat daripada warisan intelektual leluhur sendiri. Dalam konsep pembagian kekuasaan antara “Tri Tangtu di Buana” dan “Trias Politika”, memiliki perbedanan mendasar dalam segi filosofis. Konsep trias politika mengandalkan aspek saling mengawasi antar lembaga, sedangkan konsep Tri Tangtu di Buana menekankan harmoni kolaboratif antara rama, resi, dan ratu/prabu. Sistem Sunda tidak membangun perseteruan, melainkan keselarasan, layaknya alat gamelan, berbeda tapi satu irama.

TAMAN BACA

 

NS, E. S. (2010, Februari Kamis). Tri Tangtu di Buana. Mangle, p. 17.

Permana, R. S. (Vol 3, No. 2, 2015). MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM PRAGMEN CARITA PARAHYANGAN. Jurnal Kajian Komunikasi, 173-191.

Permana, R. S., & Mahameruaji, J. N. (2020). Perbandingan Konsep-konsep Triumvirate Sunda dengan Trias Politicadalam Perspektif Komunikasi Politik. Nyimak: Journal of Communication, 17-33.

Saerang, L. E. (Vol. 4, No. 1, 2025). 49Integrating the Sundanese Philosophy of ‘Tri Tangtu di buana’ into Christian Religious Education in West Java for the formation of excellent Character. INDONESIAN JOURNAL OF CHRISTIAN EDUCATION AND THEOLOGY (IJCET), 49-60.

Soehino. (2005). Ilmu Negara. Yogyakarta: LIBERTY.

 

Komentar