Oleh:
Gufron Ihsan
Kebisingan
kota metropolitan menjadi sahabat setiap saat. Jengah, gelisah, dan gundah
menjadi teman baik di tengah-tengah riuhnya malam. Menurut KBBI kata riuh memiliki
arti sangat ramai, arti lainnya menunjukan hiruk-pikuk (gaduh). Artinya, sendiri
dalam aspek riuhnya kota metropolitan bukanlah makna hakiki (asli), melainkan makna
majazi. Pernyataan tersebut tentu diselimuti dengan pertanyaan-pertanyaan
mendasar, apakah tidak ada teman satupun yang menemani ketika diterpa jengah,
gelisah, dan gundah? Jauh dari keluarga? Atau dalam konteks bucinisme yang menjadi
patokan kebahagiaan bagi segelintir orang? Pertanyaan semacam itu lumrah terjadi
dan lambat laun dapat terpecahkan.
Hijrahnya
anak daerah ke tempat baru bukanlah suatu tantangan utama dalam perjalanannya,
mengingat hal yang dialami dalam proses, tumbuh, dan dewasa di tempat yang penuh
akan pendidikan yang luar biasa. Tidak hanya pendidikan formal dan moral, pendidikan
berbagai aspek nilai kehidupanpun bisa didapatkan, sehingga hal tersebut
menjadi pondasi dan bekal awal. Tidak bisa dipungkiri, ketika berjarak dengan sesuatu
yang kita cintai, rasa rindu selalu terpatri. Sama halnya ketika Rosulullah SAW
hijrah meninggalkan kampung halamannya, tetapi rasa cinta dan kerinduan Rosul kepada
Makkah begitu luar biasa.
Berbicara
tentang cinta, menurut
Perjalanan Mencekam
Dalam
keadaan sepi dan sunyi, pikiran menjadi tantangan yang luar biasa. Banyak ungkapan
yang dikemukakan bahwa jika pikiran kita positif maka yang akan kita hasilkan suatu
hal yang memiliki nilai positif, begitupun sebaliknya. Menanggapi hal tersebut,
dalam perjalanan yang mencekam tidak mudah merealisasikan apa yang kita
bayangkan, dan penulis berpretensi semua orang sepakat akan hal tersebut.
Gadget,
berbagai buku, menjadi teman setia di sela-sela aktivitas yang menjadi
kewajiban, tetapi dengan semakin kompleksnya perkembangan zaman membuat si anak
daerah lebih ekstra dalam berfikir, dimana kebahagiaan menjadi tolak ukur yang
dapat diukur, membahagiakan orang tua seolah hanya sebatas keinginan bukan
kewajiban, gaya hidup, fisik, percintaan, outfit, bahkan pendidikan, banyak dipertentangkan.
Padahal terdapat salah satu adagium hukum yang mengatakan “de gustibus non
est disputandum” (terkait selera tidak dapat dipermasalahkan). Satu lagi, media
sosial menjadi alat bagi korban dari media sosial itu sendiri. Kenapa korban?
Buktinya, tidak sedikit orang yang mengkonsumsi berita-berita yang tidak jelas
sumbernya, dari mulai politik, hukum, ekonomi, bahkan berita personal dan
percintaan, sehingga menjadikan media sosial sebagai alat mencaci maki yang
berujung kekerasan, dalam catatan bukan suatu hal yang bersifat dialektika. Ini
hanya secuil fenomena yang terbesit dalam benak. “Sudah lah, kepala manusia
berbeda”. Ucap orang bijak yang penuh dengan wibawa.
“Ah….
Mending berfikir untuk masa depan, banyak tanggungan”,
hati anak daerah itu bergurau. Padahal terdapat poin mendasar yang paling
pertama bagi karakteristik berfikir, yaitu menyeluruh. Jika merealisasikan
gurauan seperti itu, apakah penulis termasuk dalam kategori orang picik dalam
pengetahuan? Seperti lulusan IPA memandang lebih tinggi daripada lulusan IPS,
lebih parah seorang ilmuan yang memandang rendah kepada ilmu lain. Apakah
penulis hanya menonton suatu fenomena dan menikmati hasil dari fenomena itu?
Apakah hal semacam itu tidak picik dan keji? Para ahli yang ada pada tempurung
disiplin ilmunya masing-masing lebih baik menengadah pada bintang-bintang,
pasti menyadari ada langit di luar tempurung kita, lalu kita menyadari
kebodohan diri kita sendiri. Simpul sokrates, bahwa saya tidak tahu apa-apa! Mengetahui
kekurangan bukan berarti merendahkanmu, secara sadar memanfaatkan, untuk lebih
jujur mencintaimu. Hal tersebut tentu menjadi pengalah bagi gurauan penulis.
Setiap malam yang penuh sepi, ditemani suara ciri khas jam dinding, anak daerah itu mengambil nafas panjang seraya merebahkan badannya. Riuh sendiri menerpa segalanya, berspekulasi secara menyeluruh dan mendasar dalam berbagai aspek, termasuk cinta. Seketika tercenga dan terhentak saat bersapa dengan media sosial, seolah diingatkan oleh story seorang wanita yang memiliki nilai estetika dalam senyumannya. Kebetulan, penulis jarang bertukar sapa dengannya, dia misterius. Ia mengutip catatan dari prespektif Imam Al-Gozali yang merobohkan esensi gurauan penulis yang kedua kalinya, dimana menghawatirkan masa depan dan lelah hanya dalam aspek dunia termasuk dalam kategori “hubbud dunya” (cinta dunia). Padahal dalam pendidikan yang menjadi akar anak daerah itu diajarkan untuk mentawazun-kan (mengintegrasikan) dalam segala hal, baik urusan pribadi maupun kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan hal itu, keadaan hening menjadi kunci dalam perjalanan yang mencekam.
Kajian
Hening
Pikiran
merupakan salah satu anugrah luar biasa yang dimiliki manusia. Dalam segala
aspek, manusia dituntut untuk bisa mengontrol dan mengendalikan pikirannya.
Dapat kita ilustrasikan pikiran seperti bola sepak yang sedang digiring, bola
sepak jika tidak dikendalikan dengan arah dan akurasi yang tepat maka akan
memantul secara liar pada tempat yang berbeda, begitupun pikiran. Dalam aspek ilmu
mantiq (logika), manusia disebut “Hayawanun Natiq” (makhluk yang
berfikir), tetapi belum sampai pada poin “Hayawanun Katib wal Qori”
(manusia yang menulis dan membaca) jika tidak mengaplikasikan pada bahasa yang
baik dan mudah dimengerti.
Banyak
asumsi orang-orang menganggap bahwa kondisi hening suatu keadaan yang
menbosankan, jengah, gelisah, bahkan kesepian. Asumsi tersebut tidak dapat
dikatakan salah secara saklek, karena dalam keadaan sepi dan sunyi sebagian orang
sulit untuk mengontrol pikirannya, termasuk anak daerah itu. Namun, hal
tersebut tidak menjadi hambatan untuk menelaah lebih jauh eksistensi hening
yang dianggapnya terdapat suatu hal yang berdampak positif dan menguntungkan. Keadaan hening tidak semata-mata berada dalam
kesepian, rindu yang menggebu, berfikir tentang dia yang jauh disana, dan
jengah dalam menghadapi berbagai hiruk piruk. Dalam aspek ini, hening merupakan
keadaan yang sangat berarti untuk menemukan jalan dan menyelesaikan berbagai hiruk
piruk yang menjadi persoalan dalam perjalanan yang mencekam.
Jika
merujuk pada KBBI, hening merupakan sebuah kata dalam menggambarkan keadaan
yang sangat tenang dan bebas dari keributan. Lebih jauh dari itu, terdapat
salah satu artikel yang mengemukakan suatu falsafah unik dari Sunan Drajat. Falsafah
heneng, hening, huning, dan hanung. Jika kita artikan
dalam bahasa yang mudah dimengerti, “Dengan kesabaran dan ketenangan dalam
mensucikan diri dan menjernihkan pikiran serta selalu ingat atas adil dan
nikmatnya tuhan, maka kita dapat menemukan jalan keluar yang terbaik”. Artinya,
hening dalam konteks ini menitik beratkan pada penjernihan pikiran, mensucikan
diri, dan kesabaran secara mendasar, menyeluruh, serta berspekulasi dalam
keadaan hening itu sendiri. Kenapa spekulasi? Bukankah spekulasi suatu dasar
yang tidak bisa diadakan? Meminjam pemikiran
Mengenai
falsafah hening, dapat kita artikan dengan penjelasan sederhana yaitu
menjernihkan pikiran sehingga kita dapat waspada pada diri pribadi maupun
lingkungan sekitar. Selain itu, keadaan hening dapat merubah suatu situasi menjadi
lebih damai, harmonis antara tubuh, pikiran dan jiwa. Keadaan dalam keheningan
dapat menyelaraskan pikiran dengan penuh cinta. Dalam keadaan hening kita dapat
berlatih meditasi yang dapat dijadikan jalan untuk menemukan berbagai ide fundamental,
terlebih dalam sensasi estetik yang dialami dalam meditasi keadaan hening,
sehingga pikiran memiliki konsentrasi, kesadaran, dan cinta kasih sebagai
keharmonisan. Dengan keadaan seperti itu, tentu dapat menbawa pada
pikiran-pikiran positif, mengendalikan diri, dan gempuran dari keadaan zaman
yang semakin kompleks.
Kesimpulan
Riuh sendiri dalam perjalanan mencekam ini menjadi tantangan tersendiri bagi anak daerah itu. Tetapi bukanlah satu-satunya, melainkan salah satunya. Setiap menyusuri perjalanannya terdapat logika, estetika, dan etika yang patut ditelusuri. Dan dengan hening yang telah diutarakan diatas dapat menjadi salah satu jalan untuk menuju cinta.
Taman Baca
Arifin, A. A. (Volume 02 Number 01 2018).
Meminimalisir Stres Belajar Siswa Melalui Teknik Meditasi Hening. Jurnal
Bimbingan dan Konseling Terapan, 68-74.
Juniartha, M., & Anjani, N. K.
(Volume 5, No. 1, 2021). Hening Dalam Meditasi Sebagai Seni Kontemplasi
Pikiran Harmonis. MAHA WIDYA DUTA, 24-52.
LN, S. Y. (Volume 3, Nomor 2,
2016). Masalah Keislaman Umat Islam Sebagai Tantangan Bagi Peningkatan Mutu
Pendidikan Agama Islam. ISLAMICA, 1-7.
Shakespeare, W. (n.d.). Hamlet. In
B. 1, adegan 5.
Suriasumantri, J. (2020). FILSAFAT
ILMU: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Yani, D. I., Radde, H., &
Gunawan HZ, A. (2021). The Analysis of The Differences in Love Components
Based on . Jurnal Psikologi Karakter,, 38-34.
Menyala kieu kakang Prabu owner Hajistore🔥🔥🔥
BalasHapus