RIUH SENDIRI! MENYUSURI EKSISTENSI HENING DALAM PERJALANAN YANG MENCEKAM: SEBUAH KAJIAN GABUTISME

 

Oleh: Gufron Ihsan

Kebisingan kota metropolitan menjadi sahabat setiap saat. Jengah, gelisah, dan gundah menjadi teman baik di tengah-tengah riuhnya malam. Menurut KBBI kata riuh memiliki arti sangat ramai, arti lainnya menunjukan hiruk-pikuk (gaduh). Artinya, sendiri dalam aspek riuhnya kota metropolitan bukanlah makna hakiki (asli), melainkan makna majazi. Pernyataan tersebut tentu diselimuti dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar, apakah tidak ada teman satupun yang menemani ketika diterpa jengah, gelisah, dan gundah? Jauh dari keluarga? Atau dalam konteks bucinisme yang menjadi patokan kebahagiaan bagi segelintir orang? Pertanyaan semacam itu lumrah terjadi dan lambat laun dapat terpecahkan.

Hijrahnya anak daerah ke tempat baru bukanlah suatu tantangan utama dalam perjalanannya, mengingat hal yang dialami dalam proses, tumbuh, dan dewasa di tempat yang penuh akan pendidikan yang luar biasa. Tidak hanya pendidikan formal dan moral, pendidikan berbagai aspek nilai kehidupanpun bisa didapatkan, sehingga hal tersebut menjadi pondasi dan bekal awal. Tidak bisa dipungkiri, ketika berjarak dengan sesuatu yang kita cintai, rasa rindu selalu terpatri. Sama halnya ketika Rosulullah SAW hijrah meninggalkan kampung halamannya, tetapi rasa cinta dan kerinduan Rosul kepada Makkah begitu luar biasa.

Berbicara tentang cinta, menurut (Yani, Radde, & Gunawan HZ, 2021) dalam salah satu jurnalnya mengemukakan bahwa cinta merupakan suatu kisah yang diciptakan oleh kita sendiri, dimana kita yang menjadi pemeran dari kisah cinta tersebut. Lebih jauh dari itu, dikemukakan bahwa cinta merupakan bentuk emosi yang menjadi harapan setiap manusia. Ketika seseorang sudah diselimuti oleh cinta, mereka memiliki perasaan yang selalu ingin berada disamping hal yang dicintainya, rindu apabila tidak bertemu, dan selalu memberikan harapan dan dukungan. Jadi bagi seseorang yang sudah diselimuti oleh cinta, wajar saja ketika ia tumbuh rasa rindu dan ingin terus berada disamping sesuatu yang menjadi kecintaannya, apalagi saat hening menjajah permukaan pikiran dan qalbu. Bahkan terkait rindu dikuatkan oleh ucapan Dilan, “Rindu itu berat, kamu tidak akan kuat”. Dan untuk mengobati semuanya, pribahasa Arab mengemukakan “Syifaaulqolbi biliqooil Mahbuub”, obatnya hati yang merindu adalah bertemu dengan yang dicintai.

Perjalanan Mencekam

https://th.bing.com/th/id/R.2c93ac3a8334bf1d57a6ee638c611f2b?rik=CZyu8ivwnT2eug&riu=http%3a%2f%2f2.bp.blogspot.com%2f-fM1sfQhl_N4%2fUka2J4ySQTI%2fAAAAAAAAAVM%2fTvrX1n3014w%2fs1600%2fujian%2bhidup.jpg&ehk=7KBWSLjoNYtjTsqlwGhGGvvGtfgKHCli1Jg7pBHLiNY%3d&risl=&pid=ImgRaw&r=0


        Dalam keadaan sepi dan sunyi, pikiran menjadi tantangan yang luar biasa. Banyak ungkapan yang dikemukakan bahwa jika pikiran kita positif maka yang akan kita hasilkan suatu hal yang memiliki nilai positif, begitupun sebaliknya. Menanggapi hal tersebut, dalam perjalanan yang mencekam tidak mudah merealisasikan apa yang kita bayangkan, dan penulis berpretensi semua orang sepakat akan hal tersebut.

Gadget, berbagai buku, menjadi teman setia di sela-sela aktivitas yang menjadi kewajiban, tetapi dengan semakin kompleksnya perkembangan zaman membuat si anak daerah lebih ekstra dalam berfikir, dimana kebahagiaan menjadi tolak ukur yang dapat diukur, membahagiakan orang tua seolah hanya sebatas keinginan bukan kewajiban, gaya hidup, fisik, percintaan, outfit, bahkan pendidikan, banyak dipertentangkan. Padahal terdapat salah satu adagium hukum yang mengatakan “de gustibus non est disputandum” (terkait selera tidak dapat dipermasalahkan). Satu lagi, media sosial menjadi alat bagi korban dari media sosial itu sendiri. Kenapa korban? Buktinya, tidak sedikit orang yang mengkonsumsi berita-berita yang tidak jelas sumbernya, dari mulai politik, hukum, ekonomi, bahkan berita personal dan percintaan, sehingga menjadikan media sosial sebagai alat mencaci maki yang berujung kekerasan, dalam catatan bukan suatu hal yang bersifat dialektika. Ini hanya secuil fenomena yang terbesit dalam benak. “Sudah lah, kepala manusia berbeda”. Ucap orang bijak yang penuh dengan wibawa.

“Ah…. Mending berfikir untuk masa depan, banyak tanggungan”, hati anak daerah itu bergurau. Padahal terdapat poin mendasar yang paling pertama bagi karakteristik berfikir, yaitu menyeluruh. Jika merealisasikan gurauan seperti itu, apakah penulis termasuk dalam kategori orang picik dalam pengetahuan? Seperti lulusan IPA memandang lebih tinggi daripada lulusan IPS, lebih parah seorang ilmuan yang memandang rendah kepada ilmu lain. Apakah penulis hanya menonton suatu fenomena dan menikmati hasil dari fenomena itu? Apakah hal semacam itu tidak picik dan keji? Para ahli yang ada pada tempurung disiplin ilmunya masing-masing lebih baik menengadah pada bintang-bintang, pasti menyadari ada langit di luar tempurung kita, lalu kita menyadari kebodohan diri kita sendiri. Simpul sokrates, bahwa saya tidak tahu apa-apa! Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, secara sadar memanfaatkan, untuk lebih jujur mencintaimu. Hal tersebut tentu menjadi pengalah bagi gurauan penulis.

Setiap malam yang penuh sepi, ditemani suara ciri khas jam dinding, anak daerah itu mengambil nafas panjang seraya merebahkan badannya. Riuh sendiri menerpa segalanya, berspekulasi secara menyeluruh dan mendasar dalam berbagai aspek, termasuk cinta. Seketika tercenga dan terhentak saat bersapa dengan media sosial, seolah diingatkan oleh story seorang wanita yang memiliki nilai estetika dalam senyumannya. Kebetulan, penulis jarang bertukar sapa dengannya, dia misterius. Ia mengutip catatan dari prespektif Imam Al-Gozali yang merobohkan esensi gurauan penulis yang kedua kalinya, dimana menghawatirkan masa depan dan lelah hanya dalam aspek dunia termasuk dalam kategori “hubbud dunya” (cinta dunia). Padahal dalam pendidikan yang menjadi akar anak daerah itu diajarkan untuk mentawazun-kan (mengintegrasikan) dalam segala hal, baik urusan pribadi maupun kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan hal itu, keadaan hening menjadi kunci dalam perjalanan yang mencekam.

Kajian Hening

Pikiran merupakan salah satu anugrah luar biasa yang dimiliki manusia. Dalam segala aspek, manusia dituntut untuk bisa mengontrol dan mengendalikan pikirannya. Dapat kita ilustrasikan pikiran seperti bola sepak yang sedang digiring, bola sepak jika tidak dikendalikan dengan arah dan akurasi yang tepat maka akan memantul secara liar pada tempat yang berbeda, begitupun pikiran. Dalam aspek ilmu mantiq (logika), manusia disebut “Hayawanun Natiq” (makhluk yang berfikir), tetapi belum sampai pada poin “Hayawanun Katib wal Qori” (manusia yang menulis dan membaca) jika tidak mengaplikasikan pada bahasa yang baik dan mudah dimengerti.

Banyak asumsi orang-orang menganggap bahwa kondisi hening suatu keadaan yang menbosankan, jengah, gelisah, bahkan kesepian. Asumsi tersebut tidak dapat dikatakan salah secara saklek, karena dalam keadaan sepi dan sunyi sebagian orang sulit untuk mengontrol pikirannya, termasuk anak daerah itu. Namun, hal tersebut tidak menjadi hambatan untuk menelaah lebih jauh eksistensi hening yang dianggapnya terdapat suatu hal yang berdampak positif dan menguntungkan.  Keadaan hening tidak semata-mata berada dalam kesepian, rindu yang menggebu, berfikir tentang dia yang jauh disana, dan jengah dalam menghadapi berbagai hiruk piruk. Dalam aspek ini, hening merupakan keadaan yang sangat berarti untuk menemukan jalan dan menyelesaikan berbagai hiruk piruk yang menjadi persoalan dalam perjalanan yang mencekam.

Jika merujuk pada KBBI, hening merupakan sebuah kata dalam menggambarkan keadaan yang sangat tenang dan bebas dari keributan. Lebih jauh dari itu, terdapat salah satu artikel yang mengemukakan suatu falsafah unik dari Sunan Drajat. Falsafah heneng, hening, huning, dan hanung. Jika kita artikan dalam bahasa yang mudah dimengerti, “Dengan kesabaran dan ketenangan dalam mensucikan diri dan menjernihkan pikiran serta selalu ingat atas adil dan nikmatnya tuhan, maka kita dapat menemukan jalan keluar yang terbaik”. Artinya, hening dalam konteks ini menitik beratkan pada penjernihan pikiran, mensucikan diri, dan kesabaran secara mendasar, menyeluruh, serta berspekulasi dalam keadaan hening itu sendiri. Kenapa spekulasi? Bukankah spekulasi suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Meminjam pemikiran (Suriasumantri, 2020), seorang filsuf menjawab. Memang, tetapi hal tersebut tidak bisa dihindarkan. Menyusuri suatu lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulasinya. Yang penting bahwa dalam prosesnya, dalam analisis maupun pembuktiannya, kita dapat memisahkan spekulasi mana yang bisa diandalkan dan mana yang tidak.

Mengenai falsafah hening, dapat kita artikan dengan penjelasan sederhana yaitu menjernihkan pikiran sehingga kita dapat waspada pada diri pribadi maupun lingkungan sekitar. Selain itu, keadaan hening dapat merubah suatu situasi menjadi lebih damai, harmonis antara tubuh, pikiran dan jiwa. Keadaan dalam keheningan dapat menyelaraskan pikiran dengan penuh cinta. Dalam keadaan hening kita dapat berlatih meditasi yang dapat dijadikan jalan untuk menemukan berbagai ide fundamental, terlebih dalam sensasi estetik yang dialami dalam meditasi keadaan hening, sehingga pikiran memiliki konsentrasi, kesadaran, dan cinta kasih sebagai keharmonisan. Dengan keadaan seperti itu, tentu dapat menbawa pada pikiran-pikiran positif, mengendalikan diri, dan gempuran dari keadaan zaman yang semakin kompleks.

Kesimpulan

Riuh sendiri dalam perjalanan mencekam ini menjadi tantangan tersendiri bagi anak daerah itu. Tetapi bukanlah satu-satunya, melainkan salah satunya. Setiap menyusuri perjalanannya terdapat logika, estetika, dan etika yang patut ditelusuri. Dan dengan hening yang telah diutarakan diatas dapat menjadi salah satu jalan untuk menuju cinta.

Taman Baca

Arifin, A. A. (Volume 02 Number 01 2018). Meminimalisir Stres Belajar Siswa Melalui Teknik Meditasi Hening. Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan, 68-74.

Juniartha, M., & Anjani, N. K. (Volume 5, No. 1, 2021). Hening Dalam Meditasi Sebagai Seni Kontemplasi Pikiran Harmonis. MAHA WIDYA DUTA, 24-52.

LN, S. Y. (Volume 3, Nomor 2, 2016). Masalah Keislaman Umat Islam Sebagai Tantangan Bagi Peningkatan Mutu Pendidikan Agama Islam. ISLAMICA, 1-7.

Shakespeare, W. (n.d.). Hamlet. In B. 1, adegan 5.

Suriasumantri, J. (2020). FILSAFAT ILMU: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Yani, D. I., Radde, H., & Gunawan HZ, A. (2021). The Analysis of The Differences in Love Components Based on . Jurnal Psikologi Karakter,, 38-34.

 Filsafat Heneng, Hening, Huning dan Hanung - Kompasiana.com

 

Komentar

Posting Komentar