DARI MULAI “DOMBA KURING”, “MIDUA CINTA”, SAMPAI “INGET KA-MANTAN” : KAJIAN GABUTISME

      

Oleh : Gufron Ihsan

Di era globalisasi ini, penulis berasumsi bahwa budaya autentik yang kita miliki akan semakin mudah terlupakan, bahkan mudah dicobak-cabik dan mudah diakui oleh orang lain. Kita ketahui bersama bahwa bahasa menjadi salah satu budaya yang saat ini sedang bergelut dengan kerasnya era globalisasi, terutama bahasa daerah yang dulunya selalu dibanggakan oleh nenek moyang kita, tetapi sekarang malah sebaliknya. Bukan hanya bahasa, banyak hal lain yang mengiblat pada budaya-budaya asing. Ketika penulis menelaah lebih dalam akan hal tersebut, maka asumsi itu berubah menjadi asumsi yang sulit ditebak.

Jika melihat ke belakang ketika teknologi mulai menyerang negra kita, berdasarkan cerita yang didapatkan penulis dari orang tuanya, banyak perubahan yang sangat pesat. Dari mulai buku panduan sampai dengan penulisan komposisi pada kemasan jajanan anak-anak, semuanya menggunakan bahasa asing walaupun memang realitanya tingkat literasi membaca kita sangat rendah, yang jadi soal yaitu semuanya terpengaruh oleh istilah atau pernak-pernik yang mulanya lokalisme menjadi serba asing. Pada kehidupan sehari hari misalnya, kebanyakan orang-orang lebih memilih makanan atau minuman yang penggunaannya dengan istilah asing bahkan makanan yang memang dari luar, seperti “black coffee”. Padahal, apa susahnya menggunakan istilah “kopi hideung” bagi orang sunda, atau dalam fenomena percintaan ketika menyampaikan ucapan tertentu kepada pasangannya, kebanyakan orang-orang lebih nyaman menggunakan bahasa asing, “good morning sayang” misalnya, padahal bisa menggunakan “wilujeng enjing” bagi orang sunda atau “selamat pagi” saja.

Hal tersebut tentu menjadi sebuah permasalahan, eh sory. Mungkin dalam pembahasan ini supaya lebih pas jika penulis menggunakan kata fenomena yang dalam asumsi penulis mempunyai hal yang rumit untuk diselesaikan. Penyebab utamanya mungkin terletak pada rasa minder atau gengsi diri kita sendiri, sehingga merasa malu sekaligus merasa tidak keren jika tidak menggunakan pernak-pernik kekinian.

Salah satu tokoh seniman sunda yang kerap dikenal sebagai maestro wayang golek di Indonesia (Asep Sunandar) pernah berkata, “ayeuna matahari timbul di barat”. Sebuah kalimat falsafah yang tentu amat luas pemaknaannya, juga sangat cocok jika penulis mensingkronisasikan ungkapan tersebut dengan fenomena di zaman ini.

     ·       Gaul Menjadi Asing

    Bahasa gaul menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak orang lupa akan budayanya sendiri, walaupun hal tersebut tentu mempunyai dampak positif tersendiri. Jika melihat pengertian dari bahasa gaul, dalam jurnal (Sari, 2015) dikatakan bahwa bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah tersebut mulai muncul pada akhir tahun 1980an. Bahasa gaul bisa dikatakan juga bahasa Indonesia yang dikembangkan oleh para remaja, istilah tertentu biasanya diubah sedemikian rupa oleh mereka sehingga yang dapat memahami bahasa tersebut kelompok itu sendiri dan para remaja yang terjangkau oleh teknologi atau media sosial. Seperti kata “santuy” yang sering di ucapkan oleh orang-orang. 

        Pada umumnya bahasa gaul digunakan sebagai alat kominikasi diantara kalangan tertentu, tujuannya supaya mereka mempunyai istilah sendiri dalam mengungkapkan ekspresi atau hal yang lainnya, juga digunakan pada sesuatu yang mereka anggap private agar pihak lain tidak mengetahui apa yang mereka utarakan.

        Berawal dari bahasa gaul, dengan berkembangnya media sosial yang sangat pesat membuat budaya luar lebih mudah untuk menjajah kembali orang-orang yang ada disekitar kita, sehingga banyak serapan bahasa asing yang digunakan dan menyatu dengan bahasa gaul menjadi serba asing. Bisa ditarik benang merah, sekarang yang dianggap bahasa gaul yaitu bahasa yang ada asingnya, bahkan bahasa asing itu sendiri. Tidak hanya dalam segi bahasa, dalam kehidupan sehari-sehari seperti berpenampilan-pun sudah banyak yang mengikuti budaya-budaya asing.

        Mungkin bisa disebut kita ini seperti menjadi objek yang dikepalai oleh subjek yang amat besar yang kita tidak tahu siapa subyek sebenarnya, atau seolah kita sedang berada dalam suatu kendaraan umum tetapi kita tidak tahu sama sekali kemana arah kendaraan umum itu berjalan. Nyatanya, dibeberapa daerah yang notabenenya mempuanyai kekentalan dalam kebudayaan, sudah banyak yang mulai mengikuti budaya luar sehingga berdampak terhadap budaya autentik yang dimilikinya, baik dari segi bahasa, gaya, penampilan, bahkan sampai makanan dan minuman.

        Kita ambil contoh ditanah kelahiran penulis, darah yang melekat pada penulis yaitu sunda, jadi bisa dibilang sunda ashli, pake shod. Dari ibu dan bapak sampai nenek moyang ke atas. Sekarang, banyak orang sundanya sendiri dalam berbagai hal lebih menyukai budaya luar daripada budayanya sendiri, baik dari segi kebahasaan maunpun yang lainnya. Mereka terombang ambing oleh keadaan, seolah hampir seluruh filosofi sunda itu hilang. Mereka beranggapan bahwa sunda hanya sebatas suku, mereka tidak tahu dan tidak memahami sunda sebagai konsep besar tentang peradaban yang mengajarkan papat kalima pancer dan tri tangtu dibuana. Selain itu, brand personality yang melekat pada masyarakat sunda yaitu “someah”,  yang mana someah mengandung nilai-nilai kepribadian yang ramah, sopan santun, dan terbuka. Nilai-nilai tersebut direpresentasikan melalui prilaku komunikasi dalam penggunaan bahasa pada pesan komunikasi itu sendiri, tetapi brand personality ini semakin hari seakan memudar karena terpengaruhi oleh budaya asing yang berkembang. Jika dibiarkan, fenomena seperti ini akan mengakibatkan kita menjadi individu atau pribadi yang semakin kesini semakin terombang-ambing dalam menghadapi keadaan.



      ·     Serangan Balik Ade Astrid

       Soal asumsi penulis yang menyatakan bahwa budaya autentik kita akan semakin mudah terlupakan, bahkan mudah dicobak-cabik dan mudah diakui oleh orang lain, mungkin harus di eliminasi sedikit demi sedikit. Kita patut bangga dan berbahagia, nyatanya belakangan ini budaya autentik kita perlahan mulai menggeser kembali budaya asing yang selama ini menjadi ancaman bagi budaya kita.

       Trandingnya lagu-lagu berbahasa sunda diberbagai media sosial menjadi pangkal optimisme. Dari mulai “Domba Kuring”, “Midua Cinta”, sampai “Inget ka Mantan” yang dipopulerkan oleh Ade Astrid, sedikit demi sedikit merubah kiblat orang sunda dari gaul semi asing menjadi kembali “nyunda”, atau dalam istilah gaul menjadi “sunda pride” semakin kokoh. Hal tersebut setidaknya menjadi angin segar sebagai perlawanan bagi budaya luar yang sedang menggempur ini, sehingga sebagai masyarakat sunda seolah ter-ingatkan, juga terbangun kembali mental percaya diri untuk menggunakan budaya autentiknya tanpa rasa minder. Oleh karena itu, sebagai orang sunda harus menyambutnya dengan syukuran dan istighosah, men-syukuri eksistensi makhluk-makhluk seperti Abah Asep Sunandar, Bah Darso, Yayan Jatnika, Sule, Pohang, Mang Fiksi Aunurofik yang selalu bersinergi bersama Mang Asep Balon di era gempuran budaya pakaian kurang bahan ini, dan tentunya Ade Astrid.

      Penulis berimajinasi, seandainya pak Karno, pak Harto, pak Jokowi, bahkan Roky Gerung yang belakangan ini menjadi topik pembicaraan, jika mendengarkan lagu “Domba Kuring” medley “bebende” versi bajidor yang dinyanyikan Ade Astrid pasti akan lebih senang dan menikmati, daripada mendengarkan lagu “Ngang-ngong-ngang-ngong” yang dinyanyikan oleh BlackPink atau Coldplay sekalipun.

      ·       Simpulan

           Kita ketahui bersama bahwa budaya luar saat ini sangat merajalela dan mengobrak-abrik budaya kita sendiri, tetapi serangan balik Ade Astrid menjadi angin segar bagi kita semua. Tentu tidak hanya Ade Astrid, masih banyak yang lainnya. Trandingnya “Domba kuring”, “Midua Cinta”, dan “Inget ka-Mantan” juga menjadi pengingat sekaligus pembentuk mentalita orang sunda semakin percaya diri tanpa rasa minder.

           


Taman Bacaan


Alniezar, F. (2019). Homo Homini Humor. Yogyakarta: BASABASI.

Hidayat, D., & Hafiar, H. (Volume 7, No. 1, Juni 2019). Nilai-nilai budaya someah pada prilaku komunikasi masyarakat suku sunda. Jurnal Kajian Komunikasi, 84-96.

Ibrahim, G. A. (2011). BAHASA TERANCAM PUNAH : FAKTA, SEBAB-MUSABAB, GEJALA, DAN STRATEGI PERAWATANNYA. Linguistik Indonesia, 36-52.

Sari, B. P. (2015). Dampak penggunaan bahasa gaul dikalangan remaja terhadap bahasa indonesia. Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB , 171-176.

Komentar

Posting Komentar